Kemauan dan kemampuan membaca Theodore Roosevelt, salah seorang presiden Amerika, sungguh luar biasa. Ia ditemukan membaca tiga buku dalam seharinya selama di Gedung Putih. Presiden Amerika lainnya, John F. Kennedy, diketahui mampu membaca dengan kecepatan mengagumkan, 1.000 kpm (kata per menit). Ini tentu prestasi yang luar biasa. Sebab, mengutip Harry Shefter yang pernah menulis Faster Reading Self Thought, pada umumnya orang biasa dapat melatih dirinya membaca sampai 350-500 kpm saja.
Hal yang sama juga ditegaskan Norman Lewis dalam karyanya How To Read Better and Faster. Fakta yang Lewis temukan dari Reading Clinic, Darmouth College, dan fakta dari kursus-kursus membaca cepat di Universitas Florida maupun Universitas Purdue, menunjukkan bahwa orang yang tidak terlatih hanya mampu membaca sekitar 110-245 kpm saja. Dan bila mereka dilatih selama 2-4 minggu (tidak disebutkan berapa jam pelatihannya), maka kemampuan itu dapat ditingkatkan menjadi 325-500 kpm. Apakah hal yang sama berlaku untuk orang Indonesia? Diperlukan suatu penelitian untuk menjawabnya.
Kita belum tahu seberapa cepat rata-rata orang Indonesia membaca. Kita juga tidak punya catatan berapa banyak buku yang pernah di baca Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir, serta seberapa cepat mereka mampu membaca. Kita tidak tahu apakah Pak Harto saat menjadi presiden suka membaca. Bung Rudy (B.J. Habibie) yang cendikiawan (katanya Bung Karno negarawan dan Pak Harto itu hartawan) mungkin banyak membaca juga, meski kita tak tahu apa bacaannya dan berapa kecepatan ia membaca. Lalu Gus Dur, yang pernah mengaku mampu mengingat sekitar 2.000 nomor telepon diluar kepala sebelum stroke, juga pasti doyan membaca. Hanya berapa cepat ia melakukan aktivitas itu dan apakah dengan gangguan penglihatan yang dideritanya belakangan, apakah ia masih rajin membaca?
Terlepas dari semua soal di atas, membaca sebagai kegiatan sosial-budaya jelas memerlukan kemauan untuk melakukannya secara konsisten. Bahkan Christine Nutall, penulis Teaching Reading Skill in a Foreign Language, pernah mengatakan bahwa membaca sebenarnya tidak dapat "diajarkan". Orang harus membuka diri untuk bersedia belajar membaca. Artinya faktor kemauan lebih dominan ketimbang faktor pengajar atau pelatih. Seseorang diyakini dapat belajar membaca, sekalipun tanpa pengajar khusus untuk itu. Juga dalam hal belajar membaca cepat.
Jika demikian halnya, saya sering bertanya-tanya dalam hati, apakah yang membuat orang Indonesia kurang sekali menunjukkan kemauan dan minat untuk membaca? Mengapa orang sering mengeluhkan rendahnya minat baca masyarakat kita?
Hal yang sama juga ditegaskan Norman Lewis dalam karyanya How To Read Better and Faster. Fakta yang Lewis temukan dari Reading Clinic, Darmouth College, dan fakta dari kursus-kursus membaca cepat di Universitas Florida maupun Universitas Purdue, menunjukkan bahwa orang yang tidak terlatih hanya mampu membaca sekitar 110-245 kpm saja. Dan bila mereka dilatih selama 2-4 minggu (tidak disebutkan berapa jam pelatihannya), maka kemampuan itu dapat ditingkatkan menjadi 325-500 kpm. Apakah hal yang sama berlaku untuk orang Indonesia? Diperlukan suatu penelitian untuk menjawabnya.
Kita belum tahu seberapa cepat rata-rata orang Indonesia membaca. Kita juga tidak punya catatan berapa banyak buku yang pernah di baca Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Syahrir, serta seberapa cepat mereka mampu membaca. Kita tidak tahu apakah Pak Harto saat menjadi presiden suka membaca. Bung Rudy (B.J. Habibie) yang cendikiawan (katanya Bung Karno negarawan dan Pak Harto itu hartawan) mungkin banyak membaca juga, meski kita tak tahu apa bacaannya dan berapa kecepatan ia membaca. Lalu Gus Dur, yang pernah mengaku mampu mengingat sekitar 2.000 nomor telepon diluar kepala sebelum stroke, juga pasti doyan membaca. Hanya berapa cepat ia melakukan aktivitas itu dan apakah dengan gangguan penglihatan yang dideritanya belakangan, apakah ia masih rajin membaca?
Terlepas dari semua soal di atas, membaca sebagai kegiatan sosial-budaya jelas memerlukan kemauan untuk melakukannya secara konsisten. Bahkan Christine Nutall, penulis Teaching Reading Skill in a Foreign Language, pernah mengatakan bahwa membaca sebenarnya tidak dapat "diajarkan". Orang harus membuka diri untuk bersedia belajar membaca. Artinya faktor kemauan lebih dominan ketimbang faktor pengajar atau pelatih. Seseorang diyakini dapat belajar membaca, sekalipun tanpa pengajar khusus untuk itu. Juga dalam hal belajar membaca cepat.
Jika demikian halnya, saya sering bertanya-tanya dalam hati, apakah yang membuat orang Indonesia kurang sekali menunjukkan kemauan dan minat untuk membaca? Mengapa orang sering mengeluhkan rendahnya minat baca masyarakat kita?
No comments:
Post a Comment