Sunday, February 8, 2009

TIPS BELAJAR : MINAT BACA

Oleh: Andrias Harefa*

Amir Effendi Siregar dalam sebuah tulisan di majalah Warta E-konomi yang dipimpinnya, pernah menjelaskan bahwa ada 4 tingkat dalam komunikasi, yakni: pertama, tingkat intrapersonal; kedua, tingkat interpersonal; ketiga, tingkat group; dan keempat, mass communication. Dan kalau pendapat Siregar ini mau lebih disederhanakan, saya kira komunikasi dapat dibedakan dalam dua kategori saja, yakni: internal communication yang sama dengan intrapersonal communication, dan external communication yang mencakup interpersonal-group-mass communication.

Dalam hal ini buku, surat kabar, dan majalah-tabloid dipahami sebagai soal komunikasi massa, tingkat keempat atau kategori kedua yang saya sebut di atas. Sama halnya dengan soal mendengarkan radio, menonton televisi, dan berkomunikasi lewat internet atau pun dengan menggunakan alat komunikasi multimedia yang lebih canggih (baca: rumit). Dalam hal ini salah satu pertanyaan yang sering muncul beberapa tahun terakhir ini adalah mengapa buku, surat kabar, dan majalah-tabloid yang sempat membanjiri pasar di era serba bebas paska Orde Baru sangat banyak yang tidak laku dijual sehingga penerbit dan perusahaannya bangkrut?

Terhadap pertanyaan ini Siregar agaknya melihat proses komunikasi sebagai akar masalahnya. Menurutnya, proses komunikasi yang dominan dalam budaya kita sepanjang Orde Baru adalah proses top down dan bukan bottom up. Proses top down ini menggunakan paradigma propaganda atau "misionaris" dalam komunikasi. Fungsi media yang diutamakan adalah fungsi edukasi. Hal ini berbeda dengan proses bottom up yang mengutamakan kepentingan khalayak pembaca ketimbang apa maunya "atasan" dan "penguasa", termasuk penerbit atau pengelola media. Disini fungsi media sebagai saluran informasi dan rekreasi juga diakomodasi secara proporsional. Yang diutamakan adalah kepentingan dan kebutuhan segmen pasar yang dilayani media terkait. Dan disitulah masalahnya. Kebanyakan media cetak diterbitkan tidak dengan sungguh-sungguh memperhatikan minat dan kebutuhan segmen yang dibidik, sehingga masyarakat tidak berminat membacanya. Jadi, pertama-tama bukan soal minat baca.

Adalah benar bahwa potensi pasar atau pembaca media cetak di tanah air, jika diukur dari daya beli dan tingkat pendidikan yang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah penduduk. Data BPS menunjukkan jumlah anggota masyarakat yang tamat SMU dan bekerja sekitar 20 juta orang. Distribusi media cetak juga masih terpusat di Jakarta (60%) dan Jawa (+25%). Belum lagi krisis yang ikut menurunkan daya beli masyarakat. Namun, mengkambing hitamkan minat baca masyarakat mungkin bukanlah alasan yang dapat dipertahankan secara rasional. Begitu?

No comments:

Post a Comment