(Untuk kita renungkan bersama...)
Kalimat Ust. Anis Matta dalam bukunya Arsitek Peradaban :
“Inilah Dunia Islam Kita : Pembersihan Etnis di Bosnia – Herzegovina, penindasan di Tajikistan dan seluruh Asia Tengah, pengusiran di Rohingya, kelaparan di Somalia. Anak-anak Palestina yang terpaksa mengambil peran Orang Tua mereka dalam menghadapi Agresor Yahudi, penindasan rakyat muslim Philipina yang tak kunjung selesai, dan Afghanistan yang harus memulai dari nol setelah Soviet memporak-porandakannya. Negara-negara teluk tak pernah dingin, scenario musuh-musuh Islam memecah belah mereka atas nama perbatatasan territorial, dan Mesir kini mencari gara-gara dengan tetangganya, Sudan atas nama perbatasan”.
“Wajah dunia Islam kita adalah lukisan sebuah bangsa yang selamanya sendu, kelam, kekanakan, dan serba amburadul. Darah dan air mata seakan tumpah di tanah kita tiada henti. Hanya satu hakikat yang membuat kita hingga kini masih tetap yakin. Luka ini, suatu saat pasti akan sembuh. Hakikat itu Sunnatullah. Ia menentukan sesuatu selalu ada batasnya. Kebesaran, dalam sejarah, selalu harus dibayar dengan harga mahal. Sebab, pohon kebesaran suatu umat hanya dapat tumbuh di taman sejarah yang disirami air mata kesedihan dan darah pengorbanan”.
“Musibah datang silih berganti. Ini merupakan Sunnatullah. Ia membuka mata hati pada sebuah kenyataan yang mahajelas : yaitu, jatidiri keislaman kita. Penemuan jatidiri ini sebagai titik awal yang menandai kelahiran suatu umat. Harus ada tangis. Harus ada luka. Harus ada kematian. Sebab kisah kelahiran sebuah umat bermula dari tangis kelahiran, setelah lepas dari rahim kesedihan”.
Kalimat Ust. Anis Matta dalam bukunya Arsitek Peradaban :
“Inilah Dunia Islam Kita : Pembersihan Etnis di Bosnia – Herzegovina, penindasan di Tajikistan dan seluruh Asia Tengah, pengusiran di Rohingya, kelaparan di Somalia. Anak-anak Palestina yang terpaksa mengambil peran Orang Tua mereka dalam menghadapi Agresor Yahudi, penindasan rakyat muslim Philipina yang tak kunjung selesai, dan Afghanistan yang harus memulai dari nol setelah Soviet memporak-porandakannya. Negara-negara teluk tak pernah dingin, scenario musuh-musuh Islam memecah belah mereka atas nama perbatatasan territorial, dan Mesir kini mencari gara-gara dengan tetangganya, Sudan atas nama perbatasan”.
“Wajah dunia Islam kita adalah lukisan sebuah bangsa yang selamanya sendu, kelam, kekanakan, dan serba amburadul. Darah dan air mata seakan tumpah di tanah kita tiada henti. Hanya satu hakikat yang membuat kita hingga kini masih tetap yakin. Luka ini, suatu saat pasti akan sembuh. Hakikat itu Sunnatullah. Ia menentukan sesuatu selalu ada batasnya. Kebesaran, dalam sejarah, selalu harus dibayar dengan harga mahal. Sebab, pohon kebesaran suatu umat hanya dapat tumbuh di taman sejarah yang disirami air mata kesedihan dan darah pengorbanan”.
“Musibah datang silih berganti. Ini merupakan Sunnatullah. Ia membuka mata hati pada sebuah kenyataan yang mahajelas : yaitu, jatidiri keislaman kita. Penemuan jatidiri ini sebagai titik awal yang menandai kelahiran suatu umat. Harus ada tangis. Harus ada luka. Harus ada kematian. Sebab kisah kelahiran sebuah umat bermula dari tangis kelahiran, setelah lepas dari rahim kesedihan”.